Kami tersenyum memandang sebuah nama terpampang. Ukurannya cukup besar. Satu kali lima meter. Nama kami, TBM WACAN tertulis jelas, juga alamat lengkapnya. Bantuan dari KFC Go Green. Berulang kali saya memandangnya. Arti yang sangat dalam dari nama itu. Sungguh. Saat menulis ini pun, rasanya trenyuh. Mengingat bagaimana kami bertiga mulai merintisnya, mengelola, dan konsisten dengan cinta kami. Apalagi, kami masih harus melakukan tugas utama kami sebagai ibu bagi anak-anak kami yang masih balita. Dan kami masih ada, dan akan tetap ada, meskipun nama itu mungkin suatu hari akan menjadi kenangan saja. Semangat kami di hati anak-anak pasti akan menjadi kenangan indah.
Setiap orang yang melalui gang kami, selalu menoleh dan membacanya sambil kadang berbicara "TBM apaan sih?", atau "wacan itu opo yo?", dan mereka tahu "oh, ini yang ngasih spanduk (banner-red) dari KFC". Saya hanya tersenyum dari kamar depan, yang kebetulan berada tepat di pinggir gang, di depan papan nama itu.
(pas sepuluh menit :D, saya harus mengunjungi PAUD, dan kegiatan lain yang juga dibantu suvenir dari KFC. Thank you anyway)
Ada cukup banyak anak di kampung ini, Kampung Sungai Dungan 2. Dan yang membuatku salut adalah kemandirian mereka. Setidaknya menurut sudut pandangku. Setiap hari orang tua mereka harus pergi ke ladang pagi-pagi benar (karena ladang mereka cukup jauh) untuk menanam, memanen, mencari sayur, atau bahkan kayu bakar. Anak-anak yang lebih besar biasanya akan mengasuh adik-adik mereka yang masih kecil. Bahkan ke sekolah dan di dalam kelas pun, mereka lakukan sambil menggendong adiknya, sementara orang tua mereka masih belum pulang dari ladang. Sepulang sekolah, beberapa anak bahkan masih harus membersihkan rumah, mengambil air ke sungai, memasak dan turun ke sungai untuk mencuci semua peralatan masak. Di usia mereka yang masih kecil, mereka telah mampu melakukan semua itu…bukan hanya untuk dirinya tapi juga suatu bentuk tanggung jawab bagi keluarga mereka. Satu hal yang aku pelajari dari sini, mereka menjadi mandiri di usia anak-anak. Bukan hanya karena keadaan yang membentuk mereka, tapi juga karena keikhlasan mereka menerima semua keadaan itu.
Merekalah, yang selama aku berkarya di sana, selalu setia menemaniku. Hampir dalam setiap waktu mereka selalu ada di dekatku. Sepulang sekolah, setelah selesai mengurus rumah dan mengasuh adik, mereka mengajakku menyusuri sungai untuk mencari ikan atau tengkuyung (sejenis kreco di Jawa)atau ke hutan mencari pakis, jamur, rebung atau buah. Tak pernah lupa mereka selalu membaginya untukku dan Martha(guru lokal) yang tinggal di kampung mereka. Meski hasil yang mereka peroleh kadang tidaklah banyak. Bahkan pernah suatu kali mereka hanya mendapat 5 ekor ikan kecil setelah lama mencari. Tapi yang sedikit itupun masih mereka bagi denganku. Tiga ekor untukku dan 2 ekor untuk mereka sekeluarga. Ketika kami menolaknya supaya yang sedikit itu bisa mereka nikmati bersama keluarga mereka, mereka pulang dengan wajah sedih dan diam. Dari seorang ibu, aku dan Martha mengetahui anak ini bertanya pada sang mamak dalam bahasa kampong, “Kenapa kakak gak mau menerima pemberianku? Sementara aku udah lelah mencarinya buat kakak…”. Ketika besoknya aku panggil anak itu, bertanya dan mencoba sedikit menjelaskan, dengan polos dia berkata, “Aku takut kakak lapar dan gak ada lauk…”. Sejak saat itu, aku tidak pernah menolak lagi apapun yang mereka berikan meski itu cuma ikan 1 ekor. Hehehe… Pernah suatu pagi (kira-kira Pk. 03.30), mereka terbangun karena angin kencang dan segera bergegas. Aku Tanya, “Mau kemana?”, mereka menjawab, “Mau ke hutan cari buah duri (durian) buat kakak”. Karena masih kaget dan terhenyak mendengar jawaban mereka, aku pun hanya terdiam dan tidak menghalangi mereka pergi. Setelah mereka pergi, barulah aku sadar aku tidak suka durian. Hehehe… Pukul 06.00 mereka sudah kembali dengan 5 buah durian. Dua buah diberikannya padaku. Inilah awal aku belajar makan durian.
Bagi mereka, cinta adalah cinta. Tanpa peduli hitungan untung dan rugi. Apa yang mau mereka lakukan, mereka lakukan. Sesederhana itu. Dan hati merekalah yang menggerakkan semua itu. Kehadiran seorang anggota MAVI maupun relawan lainnya tidaklah mereka pandang hanya sebagai guru di sekolah, tapi juga seorang teman dan kakak. Dalam satu obrolan, seorang anak pernah bertanya padaku, “Kenapa kalian orang besar (dewasa) suka sekali membuat kami menangis? Sebentar kalian datang, kami sudah senang.. tapi kalian lalu kembali ke Jawa…”.
Di lain hari dalam bahasa kampung dia kembali berkata, “Aku gak mau kakak pulang ke Jawa. Selamanya aja kakak di sini, mengajar kami. Bawa aja bapak dan mamak kakak ke sini…nanti ada aku kasih makan kalian sampai tua”.
Pertanyaan-pertanyaan dan perkataan itu…tidak pernah bisa aku jawab hingga tuntas. Aku hanya bisa diam dan senyum…